Ternyata, Bagian Menyeduh Teh adalah Bagian Termudah

Arien Kartika
7 min readMay 25, 2022

--

Yes, dibandingkan dengan proses lainnya, yang melahirkan renungan panjang saya terhadap istilah artisan.

Tunggu, sebetulnya bagian paling gampang, nomer 1, yang bahkan tanpa berpikir adalah meminum teh. Hehehe. Ini kalau konteksnya minum saja, tanpa ada maksud mengapresiasi rasa dengan sengaja, atau menilai serta evaluasi untuk kepentingan komersil ya.

Easy right, starting your day with a good cup of black tea? Or perhaps a Tisane, because you wanna cut off the caffeine?

Lalu, mudah juga ternyata menyeduh teh. Perkara air panas yang bertemu daun kering, ditunggu sekian menit, tidak lupa ditimbang dulu perbandingan air dengan teh, dan senantiasa mengecek suhu yang dipakai. Itu semua, para pembaca yang budiman, hanya jika kita ingin repot-repot untuk hasil seduhan yang enak. Bisa saja dibuat lebih sederhana, tanpa persiapan dan hitungan itu semua. Hasilnya ya tentu berbeda, tapi tentu selera milik pribadi.

Jadi, apa bagian sulitnya?

Mari, kita mulai bercerita.

Tengah bulan Mei 2022, sekitar satu minggu setelah hari Idulfitri, ada kejutan muncul di Instagram Story. Langsung deh tanya Kang Oza, karena pengumuman acara yang mendadak dan mepet, lumayan memacu adrenalin dan kecemasan: aduh, kebagian slot peserta ga ya?

Oh ya, terima kasih juga buat Adela, karena kalau tidak diajak langsung, mungkin pertimbangan ikut-enggak-yaaa-takut-ga-ada-temen-nih bakal lebih panjang. Glad I decide to say, okay, go.

This line up, perhaps once in a lifetime chance.

But then, here we are, setelah menempuh 3 jam perjalanan ke selatan Bandung dan langkah-langkah panjang menyusuri bukit dengan daun teh di sekeliling. Rangkaian acara akan saya tulis di unggahan Medium lain, supaya lebih enak dibaca.

Cheers for all the view from Pasir Paniisan, Negara Kanaan!

Selama ini mengenal teh sudah dalam bentuk kering. Beruntung beberapa tahun ke belakang semakin sering bertemu dengan beragam jenis; utuh dengan bentuk bola atau utuh dengan bentuk pilin, kalau sebelumnya hanya seputar teh celup dengan isi teh hitam cacah halus, merk yang sering kita temui di swalayan.

Pengalaman mengolah sendiri teh adalah level yang berbeda. Sungguh, ini bukan melebihkan atau membual. Banyak hal yang didapat selama proses, baik itu secara materil mau pun non materil. Dibilang mudah, ya bisa saja. Dibilang sulit, mungkin buat saya lebih tepat. Jauh lebih sulit dari membuat tea blend, menyeduh, dan meminum teh.

Dimulai dari pemetikan. Belajar memegang langsung bayi-bayi ini, pucuk yang bahkan masih menggulung, layaknya bayi yang tidur hangat memeluk diri sendiri, dipayungi satu daun di bawahnya. Berselang hanya beberapa milimeter, ada lagi daun-daun lainnya.

Selama belajar memetik ini, ada obrolan saya dengan pekerja kebun di sana yang cukup terkenang, “Ini daun besar di bawah ibarat ibu, ibarat dapur, menyediakan makanan supaya anak-anak di atas sehat. Tumbuhnya bagus dan segar.”

Aslinya diucapkan dalam bahasa Sunda, enak sekali didengar di telinga.

Kali ini hanya butuh 1 pucuk dengan 2 daun di bawahnya. Betul, tidak perlu terlalu banyak. Beda hasil teh yang ingin dicapai, beda juga daun yang dipakai. Cara memetiknya tidak sulit, hanya perlu dipatahkan dari pohon dengan tenaga yang minim. Bagian yang cukup tricky, mata harus jeli melihat mana saja yang boleh dan tidak boleh diambil. Pemetik mesti memikirkan juga kelangsungan hidup pohon, jangan sampai bagian untuk regenerasi terpangkas, dan kemudian pohon teh jadi malah kurang sehat. Pohon teh yang kami pakai ini varietasnya Assamica.

Hasil petikan saya, bisa dilihat ada 1 pucuk dan 2 daun.

Hasil petikan saya kurang dari 500 gram, sedikit ya? Iya, karena malah banyak mengobrol. Hahaha. Salut dengan peserta lain yang bisa sampai sekilo.

Jangan lupa perlengkapan tempurnya: caping, celemek, keranjang untuk hasil petik, dan sepatu boots!
Pemetik amatir yang magang di Negara Kanaan, 12 Mei 2022 lalu. Hehehe.

Lanjut ke pengeringan, yuk?

Hasil petikan kami disetor ke pabrik, untuk dijemur di bawah paranet. Kami petik di hari Kamis sore, Jumat pagi sekitar jam 8 sudah semakin lemas, tujuannya agar elastis dan semakin mudah proses berikutnya.

Pengeringan ini proses paling banyak dan berulang, sampai jadi teh yang kita konsumsi, banyak sekali kadar air yang hilang.

Kami menggunakan mesin untuk membantu pengeringan lebih cepat. Di proses ini, cara kerjanya adalah wajan dipanaskan dengan pemanas listrik, ada plat yang bolak balik membantu mengaduk. Oh ya, mesin ini bisa diset tempaturnya, untuk kami pemula hanya sekitar 80–100c.

Kami masukkan hasil petikan, dibolak-balik, digosokkan pada wajan agar kena panas, lalu dilempar halus ke dinding wajan (istilahnya hand-tossing dalam bahasa Inggris, hehe). Dilakukan berulang-ulang sampai semakin kering.

Lumayan lho cepat pakai mesin, ya sekitar 40 menit. Pegal kaki dan pinggang karena bungkuk sedikit selama proses.

Berikutnya, hasil daun teh yang sudah agak kering dipilin manual pakai tangan. Satu per satu. Nah ini, bagian paling menguji kesabaran, sekaligus proses paling tepat kalau mau sambil merenung, hahaha.

Bagian belakang: peserta yang masih dalam proses pengeringan daun. Depan: Peserta yang sudah memasuki proses twisting daun.
Sorry for not looking cute or camera ready.

Memilin dengan tangan ini pun susah-susah-gampang. Kalau ada daun yang besar, biasanya jadi agak sulit hasilnya menutup rapat, beda cerita dibanding hanya pucuk dan 1 daun. Oh ya, pesan dari Ko Othniel: sebisa mungkin batang dibuang atau dikurangi, karena nanti di proses pengeringan berikutnya bisa membuat kering tidak rata. Karena batang dan daun kandungan airnya berbeda.

Bagian menyenangkan: tangan jadi wangi teh! Alami, lebih wangi daripada handcream skincare merk Korea, hahaha.

Setelahnya diulangi lagi proses pengeringan memakai mesin sekitar 45–60 menit, sampai benar-benar kering. Ada pun setelahnya kalau masih kurang sempurna, dibantu dipanaskan di atas kompor sebentar.

Oh ya, yang kami buat ini Green Tea, walaupun sudah ada oksidasi alami dan minim.

Sudah selesai, jadilah daun teh hasil tangan sendiri. Sudah bisa diseduh dan dinikmati, tapi kalau mau lebih prima bisa resting dulu 1 pekan sampai 1 bulan.

Dari tiap tangan bisa menghasilkan teh dengan aroma kering, aroma basah, dan rasa yang beda. It’s kinda magic, walau bahan bakunya sama, masing-masing jadi punya ciri khas. Punya saya sendiri, setelah 1 pekan diperam, dicoba rasanya manis seperti buah mangga! Ada umami yang cukup, tidak terlalu tebal mengganggu. Tidak sabar nanti coba lagi setelah satu bulan atau lebih.

Di tengah proses pengeringan, saya sempat tanya pada Ko Othniel, “Berarti yang lebih pantas disebut artisan, teh seperti ini ya?” Beliau jawab iya. Alasannya ya tadi, hasilnya bisa sangat personal tergantung prosesnya. Hasil tiap tangan berbeda. Oh ya, sambil ditanya, “Jadi hasil teh tangan elu rela dijual berapa?” dan ditambah wejangan: habis ini kalau beli teh jangan nawar ya!

Hahaha.

Alhamdulillah ga pernah nawar, dan semoga ke depannya juga jangan pernah, dimampukan selalu beli teh sesuai kebutuhannya. :D

Yap, maka bukan tanpa sebab, sedari awal merintis DEKAT dulu, kami memang menghindari melabeli diri dengan kata artisan. Label tersebut rasanya lebih pantas disemat pada mereka yang ada di hulu, bersentuhan langsung dengan bahan baku teh — daun yang masih basah, lalu mengeringkan, membentuk, mengoksidasi secara manual. Sepenuh hati, detail. Sebab rasa sangat tergantung pada variabel proses yang dilakukan. Very personal, indeed. DEKAT lebih senang memakai frasa handcrafted, alasannya bisa dibaca di post instagram ini ya.

Ini memang pengalaman pertama saya mengolah teh dari kebun ke cangkir, istilah kerennya farm to cup. Mudah-mudahan bukan yang terakhir juga, karena sangat menyenangkan setiap prosesnya. Memang sulit, betul. Capek, betul juga. Banyak salah dan banyak evaluasi, sudah pasti. Tapi tentu apa-apa yang dikerjakan tangan sendiri terasa lebih menyenangkan, menikmati proses yang mungkin tidak akan sama untuk nanti kali kedua, ketiga, dan seterusnya.

Berbeda, ketika tangan ini merasakan langsung tekstur tiap tahapannya, dengan hanya melihat video dan membaca modul soal proses pengolahan teh. Rasanya berat, ada harapan yang diemban saat melihat pucuk dan daun di hamparan kebun yang tumbuh dengan sehat, kalau tidak bisa kita mengolahnya dengan baik malah jadi ada potensi wasted atau mubazir.

Dari sudut pandang tea blender pun, mengetahui proses ini penting. Tidak kalah penting dengan mengenal karakter rasa origin dan tisane! Semakin banyak kita menguasai bahan dan mengenal asal-usulnya, makin kaya juga pengetahuan kita.

Ketika kita bisa mengapresiasi hasil teh, rasanya sedikit banyak kita jadi merasa ada perjalanan panjang sampai ia ada di tangan kita. Ada keahlian-keahlian banyak orang yang mengantarkan ia ke sini. Ada ekosistem alam yang terus bergulir, ketika satu daun dipetik, ada kehidupan lain yang kemudian tumbuh.

Diam-diam diri ini juga berjanji, mengurangi keteledoran dalam menimbang teh kering, supaya tidak banyak yang tumpah dan jadi terbuang. Hehehe..

Panjang juga tulisan ini, masih banyak yang ingin diceritakan, semoga nanti bisa ada lanjutannya. Doakan saya semangat nulisnya ya, hahaha.

Terima kasih Kang Oza, Ko Othniel, Miss Katrin, Pak Robby, Bu Gita, Pak Jonathan, semua orang di Negara Kanaan, siapa saja yang terlibat, yang sudah mengadakan dan memberi pengalaman menarik ini. Wishing you all well, and having a good tea for the rest of your life, always. :)

--

--