Apa yang Terjadi Ketika Kita Memperlakukan Tea Blend sebagai Karya Seni

Arien Kartika
4 min readNov 15, 2021

--

Membuat bauran teh itu mudah, semudah memotong-motong komponennya jadi satu kesatuan ukuran yang kurang lebih sama. Menyeduhnya juga tidak kalah mudah, as simple as pouring hot water into the tea leaf. Kenapa harus dibuat rumit, bahkan dianggap karya seni?

Sepanjang satu tahun lebih satu bulan terakhir ini saya membuka toko teh kecil di ekosistem kreatif (yang terpopuler pula di Kota Bandung.. katanya..), setiap harinya selalu bertemu dengan individu baru yang menarik. Ada yang menganggap teh adalah suatu mainan baru, ada yang menemukan keleluasaan tak terbatas pada dunia teh, ada pula yang memandang sebelah mata — menganggap teh semudah itu.

Well, in this big world, opinion can be so various. Semua punya hak yang sama untuk berpendapat dan bersuara, kan?

Yah, secara umum, apa-apa yang kita konsumsi tentu punya perjalanan panjang. Mari kita persempit, pada bidang makanan dan minuman, misalnya. Apa yang terhidang di piring makan kita siang ini adalah hasil dari berbagai tempat di bumi ini; garam dari laut, gula dari perkebunan, nasi dari sawah, sayuran dari pegunungan, dan protein hewani dari peternakan. Kompleks sekali, tiap-tiap dari mereka melewati jalannya, diampu tangan-tangan terampil, sampai jadi pengisi perut dan bahan bakar kita bekerja.

Barangkali, yang murah hanyalah harga belinya; 3000 rupiah untuk sekantong garam, 13000 rupiah untuk sekilo gula pasir, 12500 rupiah untuk sekilo beras, dan seterusnya. Tapi nilai-nilai keahlian, tenaga, waktu, serta harapan yang terselip pada tiap-tiap fragmen? Lebih sulit dihitung, apalagi yang sudah menurun jauh dari generasi ke generasi, being a legacy to one father to a son, and go on.

Lalu berpindahlah obrolan kita, dari perjalanan tiap bahan, ke tungku di dapur. Di rumah kita sendiri, di kediaman orang tua, di restoran, di warung nasi, di mana saja bahan-bahan alam tadi diolah. Ada nilai lebih yang juga ditambahkan: keahlian pengolahnya. Pada dapur komersil barangkali ada hitungan upah per jam atau per bulan yang bisa kita tanya, pada pawon rumah sendiri? Seringnya makan siang hari ini dibayar dengan senyuman dan pujian, “wah, enak sekali ini!”

Mari semakin fokus dan persempit tulisan ini, pada topik awal yang disinggung: teh. Proses panjang di perkebunan, perlakuan pohon yang berbeda-beda: beberapa disayang sedemikan rupa, ada pula yang tumbuh ditengok sesekali, dibiarkan apa adanya. Dimulai sedari surya yang belum nampak, tangan-tangan terampil memetik daun teh sesuai yang diminta. Dikumpulkan, dikeringkan, sebagian dioksidasi, kemudian dikemas baik karungan atau pada bungkus yang bagus-bagus.

Dan beberapa masih bertanya, kenapa harus beli teh yang agak mahal, ketika ada teh yang murah dan lebih dikenal?

Daun-daun tadi terdistribusi, sebagian terbang ke luar negeri, ada yang tetap tinggal di tanah air, jadi konsumsi kita-kita ini. Seringnya terseduh sebagai minuman penghangat pagi hari, tapi ada pula yang ditambahkan valuasinya: dicampur bahan-bahan lain. Bertemu bahan basah dalam bentuk likuid, jadilah ia racikan minuman. Bertemu bahan kering, jadilah ia tea blend.

Dan beberapa masih bertanya, kenapa harus beli teh yang agak mahal, ketika ada teh yang murah dan lebih dikenal?

Sama seperti sepiring makan siangmu hari ini yang tiap-tiap isinya datang dari berbagai tempat, tea blend yang kau seduh hari ini pun bukan tiba-tiba muncul, ia ada karena kolektivitas. Berbagai hasil bumi yang kemudian bertemu, setuju jadi satu rasa baru.

Tea blend, apakah sekadar perkara bauran teh? Sekadar mencampur berbagai komponen origin dan tisane, menyesuaikan ukuran, dan mengemasnya di toples-toples cantik? Apakah sekadar menimbang bahan baku, menentukan rasio seduh, dan dihidangkan?

Bisa ya, bisa tidak juga.

Saya percaya, bukan hanya karena saya salah satu pelaku di skenanya, bahwa memperlakukan tea blend sebagai karya seni adalah hal yang semestinya. Bukan cuma tea blend karya sendiri, tapi milik siapa saja. Bukan cuma tea blend dari nama terkenal, tapi yang juga lahir dari ketidaksengajaan, atau yang lahir dari sesederhana menjawab pertanyaan: kalau sedang masuk angin, enaknya ngeteh apa ya?

Setiap tea blend tentu punya ceritanya masing-masing, dan terpenting ia hadir dari proses berpikir dan kreatif seorang manusia, yang kita asumsikan, bersungguh-sungguh dalam membuatnya. Entah apa pun motifnya: kebutuhan komersil, validasi diri, atau jadi medium keakuan.

Barangkali, ketika kita memandang tea blend sebagai karya seni, baik yang lahir dari seniman terkenal atau anonim, kita bisa lebih objektif. Kita juga bisa lebih memaknainya, apa-apa yang terkandung di dalamnya adalah bahan yang datang dari tempat jauh. Barangkali, ketika kita memandang tea blend sebagai karya seni, kita jadi bisa ikut masuk ke pusaran imajinasi pembuatnya, ikut tersesat pada lubang kelinci ceritanya, ikut bermain pada perjalanan rasa.

Lalu pada tea blend yang berhasil masuk ke nuansa rasa milik kita, mari dengan lantang mengucap: selamat, kita menemukan karya seni yang bisa diminum!

Bandung, hujan deras.

The Hallway Space,

15 November 2021

21:53

Arien Kartika

Pengampu cerita dan bauran teh di @dekat.tea

--

--